Rabu, 14 Maret 2012

Bahasa Indonesia


ANALISIS STRUKTURALISME
NOVEL “JANTERA BIANGLALA”
KARYA AHMAD TOHARI
posted : Eko Setiawan
A.    Tentang Penulis
Jantera Bianglala merupakan novel terakhir dari Trilogi Ronggeng dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari, yang sangat terkenal di dunia sastra Indonesia. Dalam novel ini penulis mencoba melukiskan dinamika kehidupan ronggeng di desa terpencil, Dukuh Paruk.
Ialah Ahmad Tohari sang penulis novel  yang sudah tidak asing lagi di dunia sastra Indonesia. Ahmad Tohari, dilahirkan di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas pada 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya, yang mewarnai seluruh karya sastranya. Hingga Tohari dikenal sebagai sastrawan yang banyak menuturkan kisah-kisah dari dunia rakyat kecil, dengan latar pedesaan. Ia pernah bekerja di majalah terbitan BNI 46, Keluarga, dan Amanah. Ia juga mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1990) dan menerima Hadiah Sastra ASEAN (1995).

B.     Sinopsis
Dukuh Paruk menjadi karang abang pada awal tahun 1966. Cukup berpengalaman dengan kegetiran kehidupan, dengan kondisi-konddisi yang bersahaja, kemiskinan, kebodohan sepanjang masa. Peristiwa politik telah menggoncangkan orang-orang Dukuh Paruk kini tinggal puing-puingnya saja. Rumahnya terbuat dari pohon singkong yang ditutupi dengan rumput dan daun pisang kering. Namun ada rumah yang masih tersisa ketika Dukuh Paruk terbakar yakni rumah nenek Rasus. Nenek Rasus kini sakit keras karena rindu dengan cucunya. Rasus sudah lebih dari empat tahun telah meninggalkan Dukuh Paruk. Kini Rasus telah menjadi seorang tentara. Rasus berkirim surat kepada Sersan Pujo, yang menjadi komandan markas perwira urusan territorial di Kecamatan Dawuan. Peristiwa tentang tanah kelahirannya ia ketahui dari Sersan Pujo. Menurut kabar yang disampaikan Sersan Pujo melalui telegram, nenek Rasus masih hidup dan sekarang dalam keadaan sakit. Maka atas izin Sersan Pujo kini Rasus pulang ke Dukuh Paruk.
Suatu saat Srintil yang diidam-idamkan oleh orang-orang Dukuh Paruk pun tiba. Keluarga Sakarya sangat merindukan cucunya itu. Orang-orang Dukuh Paruk pun kembali menjatuhkan pundak-pundak yang berat, bersimbah air mata. Orang-orang Dukuh Paruk kembali berkumpul di rumah Sakarya. Pandangan Srintil tertuju pada anak asuhnya yaitu Goder. Goder adalah anak Tampi yang dipungut dahulu. Mula-mula Goder tidak mau dengan Srintil akan tetapi dengan penjelasan Tampi akhirnya diapun mau ikut dengan Srintil. Bahkan semakin hari semakin akrab dengan Srintil.
Pada tahun 1969 Dukuh Paruk masih tetap miskin dan bodoh. Dukuh Paruk banyak kehilangan ciri utamanya. Tak ada lagi suara calung, ronggeng serta makam Ki Secamenggala yang menjadi anutan tak terawat. Hanya Sakarya yang masih berani berkunjung ke cungkup Dukuh Paruk. Tak seberapa lama Sakarya kamitua Dukuh Paruk pun meninggal dunia. Dukuh Paruk makin lusuh dan ringkih, begitu juga Srintil bintang panggung yang meski telah dicabik-cabik. Dialah satu-satunya tempat bernaung tetapi kehadiran Goder lebih bermakna dalam hidup Srintil. Musim kemarau pun tiba. Ini merupakan kebanggaan bagi Sakum dan anak-anaknya. Karena mereka dapat mencari jangkrik untuk dijual.
Sebaliknya yang terjadi pada Srintil saat itu kedatangan pejabat desa mengantarkan undangan perihal tanah atas nama Goder. Kemudian Srintil dan Goder pergi ke balai desa untuk menerima uang ganti rugi tanah tersebut. Tapi ia menerima paling akhir, saat itu pun ia berkenalan dengan Bajus dari Jakarta.
Seorang anak Dukuh Paruk melihat rombongan para pengukur tanah yang akan mengukur tanah untuk digunakan saluran pengairan dan bendungan. Rombongan tersebut dipimpin oleh Bajus, yang terdiri dari Tamir, Kusen, dan Diding. Pandangannya semua tertuju pada sebuah Dukuh yang tak lain adalah Dukuh Paruk. Kadang-kadang pikirannya tidak mengarah pada sasaran melainkan diarahkan pada seorang perempuan kembang Dukuh Paruk.
Perkenalan Srintil dengan Bajus berlanjut dengan baik. Hal itu terbukti dengan datangnya Bajus ke rumah Srintil. Ini membuat Srintil dalam puncak kebimbangan. Harus bagaimana ia menyambut tamu dari Jakarta.

Februari 1971 Nyai Kertareja dan Srintil berangkat ke Dawuan untuk menghadiri rapat bersama Bajus. Srintil disewakan sebuah hotel sementara Bajus menghadiri rapat. Bajus menunggu seseorang dari Jakarta, yaitu Pak Blengur. Kemudian ketiganya menghadiri rapat. Dalam rapat tersebut Bajus memperoleh proyek yang kecil, sehingga cukup ditangani oleh Bajus saja. Proyek itu berada di Dukuh Paruk. Sepulang dari rapat, Blengur dan Bajus bercakap-cakap mengenai penginapan malam itu dan seperti biasa lengkap dengan wanita penghiburnya. Kemudian Bajus mengeluarkan foto Srintil dua lembar.
Pak Blengur dan Bajus pergi ke penginapan tempat Srintil. Saat itu udara dingin. Blengur ingin mandi dengan air hangat. Akan tetapi tidak ada air hangat. Sehingga ia kembali ke villa. Sepeninggal Blengur Bajus menemui Srintil, agar Srintil mau menolong Bajus. Srintil disuruh menemani Pak Blengur layaknya suami isteri. Srintil terperanjat setengah mati karena perkataan Bajus yang telah banyak menolong dirinya. Bahkan Srintil mulai jatuh hati padanya.
Sementara itu, sudah beberapa tahun Rasus bertugas di Kalimantan. Hari libur pun telah tiba. Semua teman Rasus sudah berbelanja untuk anak isterinya, paling tidak untuk pacar dan keluarganya. Mereka semua sudah merindukan keluarganya. Lain halnya dengan Rasus, ia tidak membeli sesuatu pun karena tidak punya siapa-siapa selain tanah kelahirannya, sehingga ia memilih libur yang paling akhir.
Rasus pulang ke rumah Nyai Sakarya. Dia menjumpai Srintil yang amat menyakitkan hatinya karena Srintil sudah menjadi gila semenjak di hotel bersama Bajus dan Pak Blengur. Bajus tidak mengawininya karena ia telah impoten akibat kecelakaan di Jatiluhur. Segala usaha telah dicoba demi kesembuhan Srintil tapi tak ada hasilnya.
Rasus langsung mendobrak pintu tempat Srintil berada dan melepas segala ikatannya. Tetapi Srintil tidak lagi mengenali Rasus. Kemudian Rasus pulang ke gubuknya dan sholat mendoakan Dukuh Paruk dan Srintil. Pagi-pagi sesaat matahari terbit, Rasus telah berpakaian rapi. Kemudian berangkat ke rumah Srintil untuk memandikannya. Srintil kemudian didandani oleh Nyai Kertareja. Kemudian Srintil dibawa Rasus ke rumah sakit jiwa. Di sepanjang jalan orang di pasar Dawuan dan di dalam bis selalu memperhatikannya.
Sesampai di rumah sakit jiwa, Rasus dimintai keterangan oleh Kepala Bangsal tentang Srintil, Rasus menjawab bahwa Srintil adalah calon isterinya. Demikianlah akhirnya Srintil tidak lagi menjadi ronggeng Dukuh Paruk melainkan telah menjadi perempuan somahan milik Rasus.


C.    Hakikat Pendekatan Strukturalisme
a. Pengertian
            Pendekatan Strukturalisme merupakan pendekatan pada karya sastra yang bersifat otonom. Pendekatan ini tidak mengacu pada hal-hal lain di luar karya sastra. Analisis dipusatkan pada bentuk dan isi karya sastra. Pendekatan strukturalisme memiliki kesamaam metode kerja dengan pendekatan formalisme Rusia dan Pendekatan New Criticsm. Karya sastra sebagai karya yang otonom, tidak berkaitan dengankenyataan, pengarang, maupun pembaca.
b. Hakikat Pendekatan Strukturalisme pada Prosa Fiksi
            Fiksi adalah karya naratif yang bersifat imajiner, tetapi biasanya masuk akal dan  merupakan perpaduan antara kenyataan dan imajinasi. Fiksi yang baik menggambarkan kehidupan yang mengundang simpati pembaca, mengundang tanggapan pembaca, dan mendidik moral pembaca. Fiksi ada 2, yaitu novel dan cerpen.
Atau dengan kata lain pendekatan strukturalisme juga merupakan Unsur intrinsik (objektif)) yang berisi alur, tema, tokoh, dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dsb. Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri. Menurut Menurut Nurgiyantoro dalam bukunya Pengkajian Prosa Fiksi) unsur- unsur intrinsik ialah unsur- unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.


D. Analisis Strukturalisme (Unsur Intrinsik) Novel Jantera Bianglala
1.    Tema
Tema dari novel Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari yaitu mengangkat tentang sisi kehidupan Dusun Dukuh Paruk Pecikalan pada masa 1965-an (revolusi orde baru) di daerah Banyumas Jawa Tengah. Tentang bagaimana liku-liku kehidupan ronggeng Dukuh Paruk yang  bersumberkan pada kehidupan masyarakat sekitar pengarang. Cerita dalam novel Jantera Bianglala yang diceritakan secara runtut merupakan suatu cerita nyata yang dialami oleh masyarakat di sekitar tempat tinggal pengarang.

2.    Alur / plot
Susunan alur peristiwa mengikuti urutan alur maju.

3.    Latar
Latar waktu, sosial, maupun tempat dalam novel Jantera Bianglala adalah kehidupan dan kebudayaan Jawa sesuai kebudayaan pengarang. Peristiwa yang diceritakan ini berhubungan dengan keadaan politik pada masa revolusi lahirnya orde baru. Tempat terjadinya cerita di daerah Dukuh Paruk (Banyumas) dan sekitarnya.

4.    Gaya bahasa / diksi
Gaya bahasa dalam novel Jantera Bianglala yaitu banyak perpaduan atau campuran. Pengarang banyak menggunakan bahasa Jawa ditengah-tengah bahasa Indonesia. Ini sesuai kenyataan kehidupan sehari-hari pengarang maupun msyarakat Jawa umumnya.
Adanya panggilan sedulur, kang, sampean, mbakyu, dsb merupakan bukti bahwa penggunaan bahasa jawa masih sangatlah kental. Panggilan-panggilan akrab seperti ini hanya dapat ditemukan di daerah Jawa dan sekitarnya.
Seperti dalam kutipan pembicaraan Rasus dengan orang-orang Dukuh Paruk
“Sedulur-sedulurku semua, apakah kalian selamat?”
“Belum, kang,”
            Atau perkataan sakarya kepada Rasus saat nenek Rasus meninggal.
“Oh, sampean tidak membnagunkan aku ?”.
            Penggunaan bahasa Jawa terdapat pula pada pada kidung yang ditemnbangkan Sakarya sesaat ketika nenek Rasus meninggal. Semuanya bahasanya menggunakan bahasa jawa kuno.
“Wenang sami ngawruhna pati. Wong ngagesang tan wurung palastra. Yen mati ngendi parane benjing, aja nganti kliru. Upama wong aneng dunya, asesangon mangsa wurunga yen mulih. Marang nagri kamulyan”.

5.    Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel Jantera Bianglala adalah sudut pandang diaan serba tahu karena sesuai dengan posisi pengarang yang berada di lingkungan budaya ronggeng, sehingga pengarang mengetahui seluk-beluknya. Ahmad Tohari bisa memandangnya dari luar peristiwa dan dia juga bisa terlibat di dalamnya.

6.    Penokohan
Tokoh Srintil dan Rasus adalah tokoh protagonist. Keduanya sama-sama membawa amanat pengarang. Tokoh Srintil sebagai perwujudan budaya yang menjadi sumber masalah oleh pengarang, sedangkan tokoh Rasus merupakan perwujudan pengarang. Pengarang ingin budaya Ronggeng tetap ada dan selalu berkembang, namun semua itu harus disesuaikan dengan norma islam yang ada dan tidak boleh keluar dari ajaran islam.
Srintil adalah tokoh utama dari Jantera Bianglala. Perempuan cantik berperawakan menarik digambarkan sebagai simbol perempuan yang sempurna fisiknya. Nalurinya sama seperti perempuan dusun lainnya. Yang membedakan dengan perempuan dusun lainnya ialah dia seorang ronggeng yang dipandang orang sebagai perempuan penggoda. Dalam cerita, Srintil mengalami tekanan psikologis yang hebat. Ronggeng Dukuh Paruk ini berubah. Dia bukan saja jadi sadar, dia pun menjadi pendiam, menerima apa adanya, pesimistis, jauh berbeda dahulu dengan dahulu yang cenderung periang, penggoda, optimis dalam bertindak. Di akhir ceritera, tokoh Srintil mengalami tekanan psikologis yang luar biasa sehingga menjadi tidak waras.
Rasus adalah seorang tokoh yang pernah memiliki hubungan dekat dengan Srintil saat mudanya dan teman sepermainan di masa kecil. Walaupun dia seorang tentara yang semestinya memiliki sifat kuat, kokoh, jauh dari melankolisme. Tapi ini sebaliknya di balik baju lorengnya sebenarnya dia itu rapuh, hatinya halus.
Juga ada tokoh lain yang juga menguatkan novel ini. Nenek Rasus adalah perempuan tua malang yang menginginkan bertemu dengan cucunya saat ajal menjemput. Sakarya, kakek Srintil yang penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain (tetangga), namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil. Nyai Sakarya, istri dari Sakarya yang berarti juga nenek Srintil. Watak dan Karakternya tak jauh beda dari Sakarya.
Sakum, tetangga Srintil berarti juga penduduk Dukuh Paruh, penabuh gamelan saat Srintil naik panggung meronggeng. Jauh dari itu Sakum hatinya bersih dan penyayang walau kedua matanya buta namun dia optimis akan hidupnya. Sehari-hari, bersama ketiga orang anaknya dia berjualan mainan dan jangkrik di pasar Dawuan.
Ki Kertareja, suami dari Nyai Kertareja, yaitu perempuan materialistis yang suka membawa laki-laki untuk Srintil  kasarnya dia mucikari. Tampi, perempuan yang mengurus Goder (anak angkat Srintil) saat Srintil ada dalam tahanan. Goder, anak angkat Srintil.
Sersan Pujo, yang membantu Rasus mencari kabar tentang neneknya di Dukuh Paruk. Masusi, laki-laki duda hidung belang yang penasaran pada kemolekan Srintil. Darman, aparat kepolisian yang membantu maksud dan tujuan Marsusi kepada Srintil demi satu truk kayu bakar.
Diding, kacung Tamir yang tunduk dan patuh pada majikan demi uang yang akan di bawanya pulang untuk anak istrinya. Tamir, laki-laki hidung belang yang datang dari kota Jakarta dalam pekerjaannya pengukuran tanah untuk pembuatan jalan di Dukuh Paruh-Pecikalan. Dia seorang laki-laki petualang perempuan yang patah hati oleh Srintil. Bajus, bujang tua yang baik kepada Srintil namun jauh dari perkiraan. Srintil sempat akan dijadikannya umpan demi proyek/tendernya lolos. Kusen, rekan kerja Tamir, Diding dan Bajus.
Pak Blengur, bos besar pemegang tender pembuatan jalan, jembatan dan gedung bupati (majikan Bajus). Lelaki petualang cinta dari satu perempuan ke perempuan lainya namun terketuk hati dan kesadarannya karena Srintil.
Lurah Pecikalan (kepala desa), bijaksana dan peduli akan penduduknya. Kepala Bangsal Rumah Sakit Jiwa, orang yang menerima Srintil saat masuk ke rumah sakit jiwa. Babah Gemuk, orang yang membagikan uang ganti rugi kepada masyarakat Dukuh Paruk karena terkena gusuran pembuatan jalan.

7.    Amanat
Amanat dalam novel Jantera Bianglala yaitu manusia hendaknya selalu mawas diri dan teguh, karena kehidupan yang ada pada manusia itu selalu menutur ke arah perubahan yang baik. Sesuatu yang berharga dan bernilai moral tidak bisa di dapat dengan cara mudah. Tidak cukup dengan niat baik tapi juga lebih dalamnya adalah aplikasi dalam kehidupan yang harus diwujudkan, intinya harus berusaha. Tak juga dilupakan bahwa manusia hanya dapat berencana yang lainya Tuhanlah yang menentukan, kita wajib bertawakal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar