ANALISIS STRUKTURALISME
NOVEL “JANTERA BIANGLALA”
KARYA AHMAD TOHARI
posted : Eko Setiawan
A.
Tentang Penulis
Jantera Bianglala merupakan novel terakhir dari Trilogi Ronggeng dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini
Hari, yang sangat terkenal di dunia
sastra Indonesia. Dalam novel ini
penulis mencoba melukiskan dinamika kehidupan ronggeng
di desa terpencil, Dukuh Paruk.
Ialah Ahmad Tohari sang penulis
novel yang sudah tidak asing lagi di
dunia sastra Indonesia. Ahmad Tohari, dilahirkan di Desa Tinggarjaya, Kecamatan
Jatilawang, Banyumas pada 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN
II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan
kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Tohari
tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya, yang mewarnai
seluruh karya sastranya. Hingga Tohari dikenal sebagai sastrawan yang banyak
menuturkan kisah-kisah dari dunia rakyat kecil, dengan latar pedesaan. Ia pernah bekerja di majalah terbitan BNI 46, Keluarga, dan Amanah. Ia juga mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika
Serikat (1990) dan menerima
Hadiah Sastra ASEAN (1995).
B.
Sinopsis
Dukuh Paruk menjadi karang abang pada
awal tahun 1966. Cukup berpengalaman dengan kegetiran kehidupan, dengan
kondisi-konddisi yang bersahaja, kemiskinan, kebodohan sepanjang masa.
Peristiwa politik telah menggoncangkan orang-orang Dukuh Paruk kini tinggal
puing-puingnya saja. Rumahnya terbuat dari pohon singkong yang ditutupi dengan
rumput dan daun pisang kering. Namun ada rumah yang masih tersisa ketika Dukuh
Paruk terbakar yakni rumah nenek Rasus. Nenek Rasus kini sakit keras karena
rindu dengan cucunya. Rasus sudah lebih dari empat tahun telah meninggalkan Dukuh
Paruk. Kini Rasus telah menjadi seorang tentara. Rasus berkirim surat kepada
Sersan Pujo, yang menjadi komandan markas perwira urusan territorial di
Kecamatan Dawuan. Peristiwa tentang tanah kelahirannya ia ketahui dari Sersan
Pujo. Menurut kabar yang disampaikan Sersan Pujo melalui telegram, nenek Rasus
masih hidup dan sekarang dalam keadaan sakit. Maka atas izin Sersan Pujo kini
Rasus pulang ke Dukuh Paruk.
Suatu saat Srintil yang diidam-idamkan
oleh orang-orang Dukuh Paruk pun tiba. Keluarga Sakarya sangat merindukan
cucunya itu. Orang-orang Dukuh Paruk pun kembali menjatuhkan pundak-pundak yang
berat, bersimbah air mata. Orang-orang Dukuh Paruk kembali berkumpul di rumah
Sakarya. Pandangan Srintil tertuju pada anak asuhnya yaitu Goder. Goder adalah
anak Tampi yang dipungut dahulu. Mula-mula Goder tidak mau dengan Srintil akan
tetapi dengan penjelasan Tampi akhirnya diapun mau ikut dengan Srintil. Bahkan
semakin hari semakin akrab dengan Srintil.
Pada tahun 1969 Dukuh Paruk masih
tetap miskin dan bodoh. Dukuh Paruk banyak kehilangan ciri utamanya. Tak ada
lagi suara calung, ronggeng serta makam Ki Secamenggala yang menjadi anutan tak
terawat. Hanya Sakarya yang masih berani berkunjung ke cungkup Dukuh Paruk. Tak
seberapa lama Sakarya kamitua Dukuh Paruk pun meninggal dunia. Dukuh Paruk
makin lusuh dan ringkih, begitu juga Srintil bintang panggung yang meski telah
dicabik-cabik. Dialah satu-satunya tempat bernaung tetapi kehadiran Goder lebih
bermakna dalam hidup Srintil. Musim kemarau pun tiba. Ini merupakan kebanggaan
bagi Sakum dan anak-anaknya. Karena mereka dapat mencari jangkrik untuk dijual.
Sebaliknya yang terjadi pada Srintil
saat itu kedatangan pejabat desa mengantarkan undangan perihal tanah atas nama
Goder. Kemudian Srintil dan Goder pergi ke balai desa untuk menerima uang ganti
rugi tanah tersebut. Tapi ia menerima paling akhir, saat itu pun ia berkenalan
dengan Bajus dari Jakarta.
Seorang anak Dukuh Paruk melihat
rombongan para pengukur tanah yang akan mengukur tanah untuk digunakan saluran
pengairan dan bendungan. Rombongan tersebut dipimpin oleh Bajus, yang terdiri
dari Tamir, Kusen, dan Diding. Pandangannya semua tertuju pada sebuah Dukuh
yang tak lain adalah Dukuh Paruk. Kadang-kadang pikirannya tidak mengarah pada
sasaran melainkan diarahkan pada seorang perempuan kembang Dukuh Paruk.
Perkenalan Srintil dengan Bajus
berlanjut dengan baik. Hal itu terbukti dengan datangnya Bajus ke rumah
Srintil. Ini membuat Srintil dalam puncak kebimbangan. Harus bagaimana ia
menyambut tamu dari Jakarta.
Februari 1971 Nyai Kertareja dan
Srintil berangkat ke Dawuan untuk menghadiri rapat bersama Bajus. Srintil
disewakan sebuah hotel sementara Bajus menghadiri rapat. Bajus menunggu
seseorang dari Jakarta, yaitu Pak Blengur. Kemudian ketiganya menghadiri rapat.
Dalam rapat tersebut Bajus memperoleh proyek yang kecil, sehingga cukup
ditangani oleh Bajus saja. Proyek itu berada di Dukuh Paruk. Sepulang dari
rapat, Blengur dan Bajus bercakap-cakap mengenai penginapan malam itu dan
seperti biasa lengkap dengan wanita penghiburnya. Kemudian Bajus mengeluarkan
foto Srintil dua lembar.
Pak Blengur dan Bajus pergi ke
penginapan tempat Srintil. Saat itu udara dingin. Blengur ingin mandi dengan
air hangat. Akan tetapi tidak ada air hangat. Sehingga ia kembali ke villa.
Sepeninggal Blengur Bajus menemui Srintil, agar Srintil mau menolong Bajus.
Srintil disuruh menemani Pak Blengur layaknya suami isteri. Srintil terperanjat
setengah mati karena perkataan Bajus yang telah banyak menolong dirinya. Bahkan
Srintil mulai jatuh hati padanya.
Sementara itu, sudah beberapa tahun
Rasus bertugas di Kalimantan. Hari libur pun telah tiba. Semua teman Rasus
sudah berbelanja untuk anak isterinya, paling tidak untuk pacar dan
keluarganya. Mereka semua sudah merindukan keluarganya. Lain halnya dengan
Rasus, ia tidak membeli sesuatu pun karena tidak punya siapa-siapa selain tanah
kelahirannya, sehingga ia memilih libur yang paling akhir.
Rasus pulang ke rumah Nyai Sakarya.
Dia menjumpai Srintil yang amat menyakitkan hatinya karena Srintil sudah
menjadi gila semenjak di hotel bersama Bajus dan Pak Blengur. Bajus tidak
mengawininya karena ia telah impoten akibat kecelakaan di Jatiluhur. Segala
usaha telah dicoba demi kesembuhan Srintil tapi tak ada hasilnya.
Rasus langsung mendobrak pintu tempat
Srintil berada dan melepas segala ikatannya. Tetapi Srintil tidak lagi
mengenali Rasus. Kemudian Rasus pulang ke gubuknya dan sholat mendoakan Dukuh
Paruk dan Srintil. Pagi-pagi sesaat matahari terbit, Rasus telah berpakaian
rapi. Kemudian berangkat ke rumah Srintil untuk memandikannya. Srintil kemudian
didandani oleh Nyai Kertareja. Kemudian Srintil dibawa Rasus ke rumah sakit
jiwa. Di sepanjang jalan orang di pasar Dawuan dan di dalam bis selalu
memperhatikannya.
Sesampai di rumah sakit jiwa, Rasus
dimintai keterangan oleh Kepala Bangsal tentang Srintil, Rasus menjawab bahwa
Srintil adalah calon isterinya. Demikianlah akhirnya Srintil tidak lagi menjadi
ronggeng Dukuh Paruk melainkan telah menjadi perempuan somahan milik Rasus.
C.
Hakikat Pendekatan Strukturalisme
a. Pengertian
Pendekatan Strukturalisme merupakan pendekatan pada karya
sastra yang bersifat otonom. Pendekatan ini tidak mengacu pada hal-hal lain di
luar karya sastra. Analisis dipusatkan pada bentuk dan isi karya sastra.
Pendekatan strukturalisme memiliki kesamaam metode kerja dengan pendekatan
formalisme Rusia dan Pendekatan New Criticsm. Karya sastra sebagai karya yang
otonom, tidak berkaitan dengankenyataan, pengarang, maupun pembaca.
b. Hakikat Pendekatan Strukturalisme pada Prosa Fiksi
Fiksi
adalah karya naratif yang bersifat imajiner, tetapi biasanya masuk akal
dan merupakan perpaduan antara kenyataan
dan imajinasi. Fiksi yang
baik menggambarkan kehidupan yang mengundang simpati pembaca, mengundang
tanggapan pembaca, dan mendidik moral pembaca. Fiksi ada 2, yaitu novel dan
cerpen.
Atau dengan kata lain pendekatan strukturalisme
juga merupakan Unsur intrinsik (objektif)) yang berisi alur, tema,
tokoh, dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan,
integritas, dsb. Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada
karya-karya itu sendiri. Menurut Menurut Nurgiyantoro dalam bukunya Pengkajian
Prosa Fiksi) unsur- unsur intrinsik ialah unsur- unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri.
D.
Analisis Strukturalisme (Unsur Intrinsik) Novel Jantera Bianglala
1.
Tema
Tema dari novel Jantera Bianglala
karya Ahmad Tohari yaitu mengangkat
tentang sisi kehidupan Dusun Dukuh Paruk Pecikalan pada masa 1965-an (revolusi
orde baru) di daerah Banyumas Jawa Tengah. Tentang bagaimana liku-liku
kehidupan ronggeng Dukuh Paruk yang
bersumberkan pada kehidupan masyarakat sekitar pengarang. Cerita dalam
novel Jantera Bianglala yang diceritakan secara runtut merupakan suatu cerita
nyata yang dialami oleh masyarakat di sekitar tempat tinggal pengarang.
2.
Alur / plot
Susunan alur peristiwa mengikuti urutan alur maju.
3.
Latar
Latar waktu, sosial, maupun tempat
dalam novel Jantera Bianglala adalah kehidupan dan kebudayaan Jawa sesuai
kebudayaan pengarang. Peristiwa yang diceritakan ini berhubungan dengan keadaan
politik pada masa revolusi lahirnya orde baru. Tempat terjadinya cerita di
daerah Dukuh Paruk (Banyumas) dan sekitarnya.
4.
Gaya bahasa / diksi
Gaya bahasa dalam novel Jantera
Bianglala yaitu banyak perpaduan atau campuran. Pengarang banyak menggunakan
bahasa Jawa ditengah-tengah bahasa Indonesia. Ini sesuai kenyataan kehidupan
sehari-hari pengarang maupun msyarakat Jawa umumnya.
Adanya panggilan sedulur, kang,
sampean, mbakyu, dsb merupakan bukti bahwa penggunaan bahasa jawa masih
sangatlah kental. Panggilan-panggilan akrab seperti ini hanya dapat ditemukan
di daerah Jawa dan sekitarnya.
Seperti dalam kutipan pembicaraan
Rasus dengan orang-orang Dukuh Paruk
“Sedulur-sedulurku
semua, apakah kalian selamat?”
“Belum,
kang,”
Atau
perkataan sakarya kepada Rasus saat nenek Rasus meninggal.
“Oh,
sampean tidak membnagunkan aku ?”.
Penggunaan
bahasa Jawa terdapat pula pada pada kidung yang ditemnbangkan Sakarya sesaat
ketika nenek Rasus meninggal. Semuanya bahasanya menggunakan bahasa jawa kuno.
“Wenang
sami ngawruhna pati. Wong ngagesang tan wurung palastra. Yen mati ngendi parane
benjing, aja nganti kliru. Upama wong aneng dunya, asesangon mangsa wurunga yen
mulih. Marang nagri kamulyan”.
5.
Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pengarang
dalam novel Jantera Bianglala adalah sudut pandang diaan serba tahu karena
sesuai dengan posisi pengarang yang berada di lingkungan budaya ronggeng,
sehingga pengarang mengetahui seluk-beluknya. Ahmad Tohari bisa memandangnya
dari luar peristiwa dan dia juga bisa terlibat di dalamnya.
6.
Penokohan
Tokoh Srintil dan Rasus
adalah tokoh protagonist. Keduanya sama-sama membawa amanat pengarang. Tokoh
Srintil sebagai perwujudan budaya yang menjadi sumber masalah oleh pengarang,
sedangkan tokoh Rasus merupakan perwujudan pengarang. Pengarang ingin budaya
Ronggeng tetap ada dan selalu berkembang, namun semua itu harus disesuaikan
dengan norma islam yang ada dan tidak boleh keluar dari ajaran islam.
Srintil adalah tokoh utama dari Jantera Bianglala.
Perempuan cantik berperawakan menarik digambarkan sebagai simbol perempuan yang
sempurna fisiknya. Nalurinya sama seperti perempuan dusun lainnya. Yang
membedakan dengan perempuan dusun lainnya ialah dia seorang ronggeng yang
dipandang orang sebagai perempuan penggoda. Dalam cerita, Srintil mengalami
tekanan psikologis yang hebat. Ronggeng Dukuh Paruk ini berubah. Dia bukan saja
jadi sadar, dia pun menjadi pendiam, menerima apa adanya, pesimistis, jauh
berbeda dahulu dengan dahulu yang cenderung periang, penggoda, optimis dalam
bertindak. Di akhir ceritera, tokoh Srintil mengalami tekanan psikologis yang
luar biasa sehingga menjadi tidak waras.
Rasus adalah seorang tokoh yang pernah memiliki
hubungan dekat dengan Srintil saat mudanya dan teman sepermainan di masa kecil.
Walaupun dia seorang tentara yang semestinya memiliki sifat kuat, kokoh, jauh
dari melankolisme. Tapi ini sebaliknya di balik baju lorengnya sebenarnya dia
itu rapuh, hatinya halus.
Juga ada tokoh lain yang juga
menguatkan novel ini. Nenek Rasus adalah perempuan tua
malang yang menginginkan bertemu dengan cucunya saat ajal menjemput. Sakarya,
kakek Srintil yang penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain (tetangga),
namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil. Nyai Sakarya, istri dari
Sakarya yang berarti juga nenek Srintil. Watak dan Karakternya tak jauh beda
dari Sakarya.
Sakum, tetangga Srintil berarti juga penduduk Dukuh
Paruh, penabuh gamelan saat Srintil naik panggung meronggeng. Jauh dari itu
Sakum hatinya bersih dan penyayang walau kedua matanya buta namun dia optimis
akan hidupnya. Sehari-hari, bersama ketiga orang anaknya dia berjualan mainan
dan jangkrik di pasar Dawuan.
Ki Kertareja, suami dari Nyai
Kertareja, yaitu perempuan materialistis yang suka membawa laki-laki untuk
Srintil kasarnya dia mucikari. Tampi,
perempuan yang mengurus Goder (anak angkat Srintil) saat Srintil ada dalam
tahanan. Goder, anak angkat Srintil.
Sersan Pujo, yang membantu Rasus mencari kabar tentang
neneknya di Dukuh Paruk. Masusi, laki-laki duda hidung belang
yang penasaran pada kemolekan Srintil. Darman, aparat kepolisian yang membantu
maksud dan tujuan Marsusi kepada Srintil demi satu truk kayu bakar.
Diding, kacung Tamir yang tunduk dan patuh pada majikan
demi uang yang akan di bawanya pulang untuk anak istrinya. Tamir, laki-laki hidung
belang yang datang dari kota Jakarta dalam pekerjaannya pengukuran tanah untuk pembuatan
jalan di Dukuh Paruh-Pecikalan. Dia seorang laki-laki petualang perempuan yang
patah hati oleh Srintil. Bajus, bujang tua yang baik kepada
Srintil namun jauh dari perkiraan. Srintil sempat akan dijadikannya umpan demi
proyek/tendernya lolos. Kusen, rekan kerja Tamir, Diding dan
Bajus.
Pak Blengur, bos besar pemegang tender pembuatan jalan,
jembatan dan gedung bupati (majikan Bajus). Lelaki petualang cinta dari satu
perempuan ke perempuan lainya namun terketuk hati dan kesadarannya karena
Srintil.
Lurah Pecikalan (kepala desa), bijaksana dan peduli akan penduduknya. Kepala
Bangsal Rumah Sakit Jiwa, orang yang menerima Srintil saat masuk ke
rumah sakit jiwa. Babah Gemuk, orang yang membagikan uang ganti rugi kepada
masyarakat Dukuh Paruk karena terkena gusuran pembuatan jalan.
7.
Amanat
Amanat dalam novel Jantera Bianglala
yaitu manusia hendaknya selalu mawas diri dan teguh, karena kehidupan yang ada
pada manusia itu selalu menutur ke arah perubahan yang baik. Sesuatu yang berharga dan bernilai moral tidak
bisa di dapat dengan cara mudah. Tidak cukup dengan niat baik tapi juga lebih
dalamnya adalah aplikasi dalam kehidupan yang harus diwujudkan, intinya harus
berusaha. Tak juga dilupakan bahwa manusia hanya dapat berencana yang lainya
Tuhanlah yang menentukan, kita wajib bertawakal.